Kisah pendaki
gunung dari buku Adversity Quetient oleh Paul G. Stoltz, menurut beliau
kepercayaan diri dapat menghasilkan 3 cara pandang seseorang ketika memandang
sebuah persoalan.
1.
Quitters
Yaitu orang-orang yang tidak percaya diri memilih untuk keluar, menghindari
kewajiban, mundur dan berhenti ketika menemukan persoalan hidup atas sesuatu
yang tidak diharapkan. Mereka menolak kesempatan yang diberikan untuk
belajarmengatasi masalah.mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan
dorongan inti manusiawi untuk terus mendaki, yang berarti juga meninggalkan
banyak hal, banyak kemungkinan yang ditawarkan oleh kehidupan.
Gaya hidup para quitters, mereka selalu memilih jalan yang lebih datardan
lebih mudah. Ironisnya, seiring berjalannya waktu, mereka justru mengalami
penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang ingin mereka elakkan dengan
memilih untuk tidak mendaki. Lebih memilukan lagi, sewaktu mereka menoleh ke
belakang dan melihatbahwa kehidupan yang dipilihnya sendiri ternyata tidak
menyenangkan, maka menjadi sinis, murung dan mati perasaannya. Mereka menjadi
pemarah, frustasi dan menyalahkan orang lain atas pilihan-pilihan yang mereka
pilih sendiri. Mereka tidak terbiasa menunda kepuasan, mereka terbiasa
mengatakan “Seandainya....,” sehingga kegagalan lebih sering disikapi dengan
sekedar penyesalan dan bukan sikap proaktipuntuk mengatasi masalah.
Rosullulloh bersabda: “Bersungguh-sungguhlah kamu untuk mendapatkan sesuatu
yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Dan
jika sesuatu musibah menimpamu, janganlah kamu mengatakan “seandainya”. Aku
melakukan sesuatu pasti dulu begini dan begitu, tetapi katakanlah ia adalah
takdir Alloh dan apa yang Alloh kehendaki pasti terjadi karena sesungguhnya kata “seandainya” akan
membuka aktivitas setan.”
Subhanalloh Rosululloh memperingatkan kita bahwa berandai-andai menandakan
kelemahan kita dan akan dimanfaatkan setan.
2.
Campers
Yaitu mereka yang cepat puas. Mereka pergi tidak seberapa jauh, lalu
berkata: “Saejauh ini sajalahsaya mampu mendaki.” Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya
dan mencari tempat yang datar dan nyaman bersembunyi dari situasi yang tidak
bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan duduk
di situ.
Berbeda dengan quitters, para campers setidaknya telah menanggapi tantangan
pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkatan tertentu, perjalanan mereka
mungkin memang mudah atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan
telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat mereka, kemudian berhenti.
Pendakian yang tidak selesai itulah yang dianggap sebagai “kesuksesan”. Dengan
memilih berhenti dan berkemah, berari sebenarnya mereka tidak sukses.
Hakikatnya pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri
seseorang. Berhenti sebelum mati, sama dengan bunuh diri.
Gaya hidup mereka tidak jauh beda dengan quitters, hanya masalah
tingkatannya saja. Mereka selalu berkata, “Ini sudah cukup baik.” Para campers
mungkin merasa cukup senang dengan ilusinyasendiri tentang “apa yang sudah ada”
dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami “apa yang masih mungkin terjadi”.
Mereka tidak cukup percaya diri untuk terus mendaki, mencapai puncak
prestasi. Lebih dikarenakan takut kehilangan kenyamanan dan kekhawatiran berlebih
atas masa depan mereka.
3.
Climbers
Yaitu orang-orang yang seumur hidupnya terus hidup untuk membaktikan
dirinya pada “pendakian” tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau
kerugian, nasib buruk, maupun nasib baik, dia terus mendaki. Mereka terus mendaki
dengan penuh percaya diri. Mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan
kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras,
cacat fisik atau mental maupun hambatan lain menghalangi pendakian.
Para
climbers sangat bergairah dalam menghadapi tantangan-tantangan yang terjadi.
Mereka sangat memahami bahwa mencapai puncak adalah perjalanan yang tidak
mudah, maka climbers selalu mengingat-ingat semua “kekuatan” yang diperolehnya
saat perjalanan. Jika pun sesekali mereka jatuh, mereka tidak pernah menyerah
sedikitpun. Kata “berhenti” tidak pernah ada dalam kamus para climbers.
Keyakinan mereka begitu besar, sehingga membuat mereka bisa bertahan meskipun
orang lain sudah bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin
ditempuh.
Sumber dari
buku:”Every day is PeDe Day” penulis: Izzatul Jannah
Sekian blog kali
ini semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar