Sabtu, 13 Juni 2015

Percaya Diri






Kisah pendaki gunung dari buku Adversity Quetient oleh Paul G. Stoltz, menurut beliau kepercayaan diri dapat menghasilkan 3 cara pandang seseorang ketika memandang sebuah persoalan.
1.       Quitters
Yaitu orang-orang yang tidak percaya diri memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti ketika menemukan persoalan hidup atas sesuatu yang tidak diharapkan. Mereka menolak kesempatan yang diberikan untuk belajarmengatasi masalah.mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti manusiawi untuk terus mendaki, yang berarti juga meninggalkan banyak hal, banyak kemungkinan yang ditawarkan oleh kehidupan.
Gaya hidup para quitters, mereka selalu memilih jalan yang lebih datardan lebih mudah. Ironisnya, seiring berjalannya waktu, mereka justru mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang ingin mereka elakkan dengan memilih untuk tidak mendaki. Lebih memilukan lagi, sewaktu mereka menoleh ke belakang dan melihatbahwa kehidupan yang dipilihnya sendiri ternyata tidak menyenangkan, maka menjadi sinis, murung dan mati perasaannya. Mereka menjadi pemarah, frustasi dan menyalahkan orang lain atas pilihan-pilihan yang mereka pilih sendiri. Mereka tidak terbiasa menunda kepuasan, mereka terbiasa mengatakan “Seandainya....,” sehingga kegagalan lebih sering disikapi dengan sekedar penyesalan dan bukan sikap proaktipuntuk mengatasi masalah.
Rosullulloh bersabda: “Bersungguh-sungguhlah kamu untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Dan jika sesuatu musibah menimpamu, janganlah kamu mengatakan “seandainya”. Aku melakukan sesuatu pasti dulu begini dan begitu, tetapi katakanlah ia adalah takdir Alloh dan apa yang Alloh kehendaki pasti terjadi  karena sesungguhnya kata “seandainya” akan membuka aktivitas setan.”
Subhanalloh Rosululloh memperingatkan kita bahwa berandai-andai menandakan kelemahan kita dan akan dimanfaatkan setan.
2.       Campers
Yaitu mereka yang cepat puas. Mereka pergi tidak seberapa jauh, lalu berkata: “Saejauh ini sajalahsaya mampu mendaki.”  Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang datar dan nyaman bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan duduk di situ.
Berbeda dengan quitters, para campers setidaknya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkatan tertentu, perjalanan mereka mungkin memang mudah atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat mereka, kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itulah yang dianggap sebagai “kesuksesan”. Dengan memilih berhenti dan berkemah, berari sebenarnya mereka tidak sukses. Hakikatnya pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang. Berhenti sebelum mati, sama dengan bunuh diri.
Gaya hidup mereka tidak jauh beda dengan quitters, hanya masalah tingkatannya saja. Mereka selalu berkata, “Ini sudah cukup baik.” Para campers mungkin merasa cukup senang dengan ilusinyasendiri tentang “apa yang sudah ada” dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami  “apa yang masih mungkin terjadi”.
Mereka tidak cukup percaya diri untuk terus mendaki, mencapai puncak prestasi. Lebih dikarenakan takut kehilangan kenyamanan dan kekhawatiran berlebih atas masa depan mereka.
3.       Climbers
Yaitu orang-orang yang seumur hidupnya terus hidup untuk membaktikan dirinya pada “pendakian” tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk, maupun nasib baik, dia terus mendaki. Mereka terus mendaki dengan penuh percaya diri. Mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental maupun hambatan lain menghalangi pendakian.
Para climbers sangat bergairah dalam menghadapi tantangan-tantangan yang terjadi. Mereka sangat memahami bahwa mencapai puncak adalah perjalanan yang tidak mudah, maka climbers selalu mengingat-ingat semua “kekuatan” yang diperolehnya saat perjalanan. Jika pun sesekali mereka jatuh, mereka tidak pernah menyerah sedikitpun. Kata “berhenti” tidak pernah ada dalam kamus para climbers. Keyakinan mereka begitu besar, sehingga membuat mereka bisa bertahan meskipun orang lain sudah bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh.
Sumber dari buku:”Every day is PeDe Day” penulis: Izzatul Jannah
Sekian blog kali ini semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar